Pembelajaran Etika dari Situs Budaya
Mari bersama-sama menjaga pusaka luhur nenek moyang kita.
Menarik
untuk dikaji saat berkunjung ke situs Candi Jiwa dan Candi Blandongan
adalah tulisan "Dilarang Naik" yang diterakan pada salah satu anak
tangga di candi-candi ini.
"Walau ditulis seperti ini, terkadang masih ada yang nekat ke atas. Hanya untuk melihat bagaimana pemandangan dari puncak," ungkap Abdurahman, Juru Pelihara Situs Lempeng dengan prihatin saat berbincang dengan awak National Geographic Indonesia akhir pekan lalu.
Padahal, ungkapnya, larangan ini bukannya tanpa alasan. Konstruksi candi masih harus diperkuat agar tidak ambles lagi. Di sisi lain, bata atau bagian candi yang tidak utuh lagi perlu dibuatkan penggantinya, agar dapat menopang dan berfungsi sempurna. Sambil mengerjakan proses ini, bila ditambahkan beban berlebih (diinjak dengan kaki), dikhawatirkan akan mempercepat kerusakan.
Gambaran tentang kondisi ini dapat ditilik contohnya pada pengelolaan salah satu warisan UNESCO, Taj Mahal di Agra, India. Ditengarai bahwa setiap tahunnya, fisik bangunan mengalami ambles beberapa milimeter. Antisipasi yang dilakukan, antara lain, adalah melarang tamu mengenakan alas kaki saat bertamu ke sana.
Jadi, Anda akan diminta membuka alas kaki dan menyimpannya di rak. Kaos kaki tetap dibolehkan. Bila kunjungan diurus biro travel, tiket yang dibayarkan biasanya sudah termasuk alas kaki plastik untuk dikenakan saat berjalan-jalan dalam kompleks Taj Mahal.
Atau, bila ingin lebih "bergaya", dapat menyewa sepatu beludru. Bentuknya mirip pembungkus kaki dan tangan pada bayi yang baru lahir. Tentu saja, Anda dikenakan biaya tertentu.
Benang merahnya: sementara pihak pengelola berupaya melakukan pemugaran, mari kita bersama-sama membangun kesadaran etika untuk turut melestarikan situs budaya dan arkeologi. Tak terkecuali langkah kecil untuk mematuhi aturan yang telah ditulis di situs.
"Walau ditulis seperti ini, terkadang masih ada yang nekat ke atas. Hanya untuk melihat bagaimana pemandangan dari puncak," ungkap Abdurahman, Juru Pelihara Situs Lempeng dengan prihatin saat berbincang dengan awak National Geographic Indonesia akhir pekan lalu.
Padahal, ungkapnya, larangan ini bukannya tanpa alasan. Konstruksi candi masih harus diperkuat agar tidak ambles lagi. Di sisi lain, bata atau bagian candi yang tidak utuh lagi perlu dibuatkan penggantinya, agar dapat menopang dan berfungsi sempurna. Sambil mengerjakan proses ini, bila ditambahkan beban berlebih (diinjak dengan kaki), dikhawatirkan akan mempercepat kerusakan.
Gambaran tentang kondisi ini dapat ditilik contohnya pada pengelolaan salah satu warisan UNESCO, Taj Mahal di Agra, India. Ditengarai bahwa setiap tahunnya, fisik bangunan mengalami ambles beberapa milimeter. Antisipasi yang dilakukan, antara lain, adalah melarang tamu mengenakan alas kaki saat bertamu ke sana.
Jadi, Anda akan diminta membuka alas kaki dan menyimpannya di rak. Kaos kaki tetap dibolehkan. Bila kunjungan diurus biro travel, tiket yang dibayarkan biasanya sudah termasuk alas kaki plastik untuk dikenakan saat berjalan-jalan dalam kompleks Taj Mahal.
Atau, bila ingin lebih "bergaya", dapat menyewa sepatu beludru. Bentuknya mirip pembungkus kaki dan tangan pada bayi yang baru lahir. Tentu saja, Anda dikenakan biaya tertentu.
Benang merahnya: sementara pihak pengelola berupaya melakukan pemugaran, mari kita bersama-sama membangun kesadaran etika untuk turut melestarikan situs budaya dan arkeologi. Tak terkecuali langkah kecil untuk mematuhi aturan yang telah ditulis di situs.
Sumber : http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/09/pembelajaran-etika-dari-situs-budaya
0 komentar: