PEMUDA INDONESIA; MASIHKAH ASYIK BERMAIN MEDIA?

23.49 0 Comments


Prolog (Tentang) Tunas Bangsa
Masa muda, masa yang berapi-api…” ujar sang Raja Dangdut, Bang Haji Rhoma Irama dalam salah satu lagunya yang berjudul ‘Darah Muda’. Potongan syair itu meyakinkan saya bahwa masa muda adalah masa ‘keemasan’ di mana seseorang memiliki semangat yang berkobar-kobar bagaikan api. Masa muda tak akan datang dua kali. Sekali ia terlewatkan, maka tak ada kata untuk kembali.
Masa muda, menawarkan berbagai dagangan imaji dan kreasi. Karena di saat muda, seseorang akan mengalami liarnya hasrat untuk menjamah segala hal, dan di masa ini pula, hal-hal baru seringkali membuat seseorang terkejut hingga timbullah rasa penasaran. Dari rasa penasaran itu, maka tergeraklah raga untuk meraba, bahkan bila mampu, sekaligus ia mencoba.
Tak berhenti di situ, di saat kini jaman telah melampaui bayangan dan khayalan nenek moyang kita dulu, dengan segala keangkuhan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang semakin tak terkendali, membuat pola pikir (mindset) dan gaya hidup (lifestyle) sebagian besar manusia pun berubah secara signifikan. Jika dulu radio dan koranlah yang memiliki peran dominan, tapi kini tidak, koran dan radio kini menjadi yang nomor kesekian (bahkan hampir ditinggalkan).
Sayangnya, kemajuan itu hanyalah diterima dan direproduksi secara superfisial: dalam bentuk materialnya saja. Pada gaya, bentuk, rupa, busana, make up, arsitektur, tempat belanja, barang bergerak, gadget dan lain sebagainya.
Realita yang (sejujurnya) tak bisa kita hindarkan. Realita di mana setiap manusia mendamba kecanggihan. Walau secara tidak sadar, bahwa di balik itu semua terdapat kepentingan global: eksplorasi keuntungan finansial secara besar-besaran. Semua jenis manusia diserang (tanpa sadar), entah yang tua maupun yang muda, bahkan yang masih kanak-kanak sekalipun. Mindset semua orang telah berubah, hingga batasan moral pun kini tak lagi diindahkan dan semakin terpinggirkan.
‘Dunia baru’ yang ditawarkan peradaban masa kini hanya berhasil mengajarkan pragmatisme, kesementaraan hidup yang taktis. Sehingga, gagasan-gagasan yang menyertainya, mengkerucutkan kita hanya pada (orientasi) hasil akhir, yang kerap harus dicapai walau dengan cara-cara lain (bahkan ilegal dan kriminal) yang justru tak mengindahkan norma-norma yang semestinya.
Oleh karenanya, perlu adanya kesadaran kolektif, terutama bagi generasi muda. Generasi yang berpredikat sebagai “agent of change”, agen perubahan. Karena di tangan pemuda, tongkat kepemimpinan bangsa kelak akan disematkan. Dan hanya pemudalah yang mampu mengemban itu semua dengan segala media yang ada.
Generasiku, Kini
Generasiku, generasi kini. Adalah generasi yang memegang tampuk kepemimpinan masa depan. Pepatah arab berkata: syubbanul yaum, rijalul ghaddi (pemuda hari ini, adalah pemimpin hari esok). Maka, apa yang saat ini menjadi kecenderungan generasi muda, hal itu pula yang akan menjadi gambaran bagaimana kecenderungan bangsa ini akan dibentuk.
Dan berangkat dari latar pemikiran di atas, bahwa sebenarnya, yang dihadapi pemuda masa kini tidaklah sama dengan yang dihadapi generasi muda masa lampau. Telah tampak dan jelas, permasalahan yang dihadapi lebih kompleks dan motifnya lebih halus. Sampai terkadang (dan bahkan seringkali) para pemuda (dan juga kita) tidak menyadarinya.
Maka wajar jika semangat generasi muda kini sudah memudar. Mereka telah terinfeksi oleh gebyar peradaban baru: modernisme dan globalisasi. Dengan pola penyerangan modernisme dan globalisasi yang begitu halus, membuat korban tak menyadari bahwa ia sedang diserang: ia sedang dilumpuhkan dan dicuci otaknya. Menjadi generasi lemah yang hanya memikirkan kesenangan dan gengsi sesaat. Sehingga, semangat Sumpah Pemuda yang dideklarasikan 28 Oktober 1928 itu kini telah luntur dan terkikis perlahan. Bagaimana mau memikirkan bangsanya, kalau yang dipikirkan oleh generasi muda sebuah bangsa hanyalah kesenangan dan hura-hura.
Media Dengan Segala Variannya
Media, telah berperan besar membentuk jenis-jenis manusia masa kini. Juga telah menjelma seperti serigala yang menyeringai. Mengancam segala jenis mangsa, terutama manusia muda. Kita tidak lagi heran ketika segala sesuatu sudah berada di ujung jari kita. Semua tersedia dengan sekali ‘klik’; dari yang berguna sampai yang berbahaya; dari yang layak dilihat sampai yang tak patut ditonton. Semua ada, dan semua (pihak) berhak mengaksesnya.
Lebih lanjut, media telah berkembang sedemikian pesatnya hingga kini kita memiliki dua dunia: dunia nyata dan dunia maya. Dunia maya yang begitu bebas tapi juga memiliki watak menjerat. Ibarat hutan belantara yang mempersilahkan kita melakukan segala terhadap apa yang ada di dalamnya. Di samping itu, ia menawarkan kita kemudahan untuk berinteraksi dengan sanak famili, kerabat, teman kerja, pacar, suami/istri, bahkan selingkuhan, melalui situs jejaring sosial (social network). Semua data, info pribadi, minat dan status pemilik akun bisa dilihat dan diakses kapan saja. Tak peduli itu akun asli atau imitasi.
Lebih dari itu, segala macam tawaran hasrat duniawi yang diselenggarakan dengan semangat konsumerisme melalui televisi. Iklan-iklan sarat dengan kepuasan sesaat, dan siaran-siaran yang tak mendidik; mulai adegan mesum, entertainment yang tak ada habisnya, serta gosip-gosip para public figure yang mengajari para pemuda bagaimana caranya menjadi terkenal dengan sekedar membuat sensasi atau membudayakan kawin-cerai.
Pun, media cetak tak mau ketinggalan untuk mengambil peran; mulai koran, majalah, tabloid, dan lain sebagainya, juga memiliki peran penting dalam merekonstruksi pola pikir orang kebanyakan. Orientasi masyarakat berubah ke arah hedonisme dan gengsi, yang sejatinya tak bernilai apa-apa. Dan ini sudah terlanjur terbentuk, menjadi kiblat dalam memaknai hidup. Kepuasan yang dimaknai dengan segala perangkat mewah atau gadget anyar yang bisa dibawa dan dipamerkan ke khalayak ramai. Sehingga, seseorang merasa malu dan ketinggalan jaman jika tidak mengikuti untuk memiliki. Paling tidak, sekedar mengetahui. Ini bukti bahwa hedonisme telah menjangkiti syaraf kita semua, sebab katanya: kenikmatanlah yang utama.
Generasi Muda Terhadap Media
Apa yang menjadi problem saat ini adalah pola kecenderungan pemuda yang kerap melakukan hal-hal yang tidak urgen; berlama-lama di warnet atau game online, tak ketinggalan pula di rental playstation. Kecenderungan yang mementingkan kesenangan sesaat dengan perangkat media-media elektronik yang membuat penggunanya lupa daratan, dan tentunya lupa waktu.
Media, seakan telah merasuki generasi ini dengan beragam tipu muslihatnya. Media, berhasil mengalihkan perhatian mereka untuk tenggelam dalam penggalan-penggalan waktu. Tanpa pernah terbesit untuk sedikit berpikir logis dan futuristik demi dirinya sendiri, apalagi untuk masyarakatnya, lebih-lebih untuk bangsanya.
Dan telah nyata, bahwa ketidaksadaran akan fungsi media yang sebenarnya telah membuat generasi muda alpa, bahwa kelak mereka yang akan menentukan arah bangsa ini: ke arah kemajuan atau keterpurukan. Sebab, jika hal ini tidak sepenuhnya disadari, maka media-media hiburan itu akan terus ‘mengendalikan’ kejiwaan para calon pemimpin bangsa ini.
Bisa dilihat dalam hal merespon gejala membludaknya media cetak saja, pemuda bangsa kita lebih meminati tabloid fashion, musik, berita-berita selebritis, otomotif hingga sepakbola. Jurnal-jurnal ilmiah dan buku-buku sejarah telah dianggap sebagai bacaan orang-orang ‘kuper’ yang ketinggalan jaman. Tak heran, jika perpustakaan kini kalah ramai jika dibandingkan rental playstation dan warnet-warnet yang kian menjamur. Dan media, menangkap ini sebagai sinyalemen kuat untuk terus menggenjot pangsa pasar, terutama kalangan remaja.
***
Kita bisa melihat dengan kedua bola mata kita sendiri bagaimana saluran-saluran televisi di negeri kita yang tercinta ini berlomba untuk menarik animo penonton dengan berbagai cara. Termasuk yang sedang marak dan banyak digandrungi saat ini adalah acara-acara yang erat kaitannya dengan musik, baik itu berupa kuis ataupun berupa penampilan-penampilan para musisi ternama saat ini.
Di acara-acara seperti inilah, animo penonton melonjak hebat, baik penonton langsung atau pemirsa yang ada di rumah. Terutama penonton yang berasal dari kalangan anak muda/remaja. Tak ayal, pemasukan finansial bagi stasiun TV yang bersangkutan melonjak, space iklannya pun menjadi rebutan perusahaan-perusahaan industri.
Dari segi finansial-material memang positif, akan tetapi pertanyaannya: bagaimana jika fenomena tersebut dilihat dari segi moral? Yah, kita bisa mengira-ngira jawabannya sendiri. Karena acara-acara seperti itu hanya akan melahirkan generasi pengkhayal, yakni generasi yang lebih menyukai lelaguan cinta yang semu daripada menghapal rumus fisika atau matematika.
Di sini, visi pemerintah dalam mewujudkan suasana stasiun pertelevisian yang menjadi sarana hiburan dan pendidikan tidak bisa tercapai. Apa sebab? Acara yang sifatnya hiburan lebih mendominasi daripada pendidikan, bahkan bisa dikatakan program pendidikan hampir tidak ada sama sekali. Bagaimana mungkin sebuah lagu tentang percintaan (atau bahkan perselingkuhan) bisa menjadi sarana pendidikan? Yang ada hanya terciptanya generasi muda yang haus akan nada cinta, generasi yang mendambakan kehidupan seperti sang idola, generasi yang rela berpanas-panas ria hanya demi menyaksikan konser band idolanya, generasi yang menjerit histeris ketika sang idola bernyanyi di atas panggung, generasi yang lebih bangga jika bisa berfoto bersama sang idola beserta mendapat tanda tangannya daripada memenangkan olimpiade fisika atau elektronika.
Ironis memang, tapi tak bisa dipungkiri kenyataannya. Maka tak heran jika anak-anak SD saat ini sudah berani bernyanyi tentang cinta, rindu dan sayang kepada lawan jenis (walaupun sebenarnya bocah-bocah seumuran itu belum begitu mengerti apa yang mereka nyanyikan). Menyanyikan tentang hal yang hanya boleh “dikonsumsi” orang dewasa.
Oleh karenanya, tak bisa dipungkiri bahwa derasnya arus globalisasi membuat perubahan sedemikian banyak bagi generasi muda. Tapi apakah kita hanya diam saja menghadapi realita bahwa generasi muda saat ini “diserang” habis-habisan dari segi moral? Seharusnya kita dan terutama pemerintah menyadari hal ini. Harus lebih memikirkan pendidikan moral generasi mudanya daripada memikirkan bangunan-bangunan megah yang menghabiskan triliunan rupiah. Sebab, moral, jiwa dan nurani adalah lebih mulia daripada raga, jasmani dan lahiriah belaka. Sebagaimana dalam “Indonesia Raya”: Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya. Jiwa dulu baru raga. Bukan sebaliknya, sibuk memikirkan hal-hal yang sifatnya pembangunan “raga” yang mengalahkan kesibukan untuk membangun “jiwa”.
Padahal sebagaimana yang diungkapkan Prof. Satjipto Rahardjo, bahwa pembangunan kualitas manusia suatu bangsa adalah lebih baik daripada pembangunan gedung-gedung yang megah (Gayeng Semarang, 2000). Dan kualitas manusia bukan dinilai dari penampilan, harta atau bahkan jabatannya. Melainkan dari moralnya. Karena moral, akhlak dan budi yang baik merupakan cerminan dari kualitas manusia. Sebagaimana halnya Nabi besar Muhammad saw diutus adalah bertujuan untuk membenahi dan menyempurnakan akhlak dan budi pekerti yang baik (innama bu’itstu li utammimma makarimal akhlaq). Sebab, bisa dibayangkan bagaimana keadaan suatu bangsa yang moral manusianya bobrok. Betapa rusaknya bangsa itu dan betapa mengerikannya.
***

Sumber : https://aeymanusia.wordpress.com/2012/11/21/pemuda-indonesia-masihkah-asyik-bermain-media/

0 komentar: